Tadi siang nemu artikel lama, yang ditwit oleh @wartajazz. Sebenarnya udah banyak sih artikel model kayak gini, tapi entah kenapa seneng aja baca-baca bagaimana tiap orang berbeda dalam memahami musik jazz. Dan saya suka dan sepakat dengan isi paragraf terakhir artikel ini. Cekidot :D
oleh : Dr. Heru Nugroho
Hingga saat ini musik jazz di tanah air terus berjuang untuk dapat
menjangkau berbagai lapisan dalam masyarakat. Ironisnya musik
ini belum mampu menjangkau seluruh lapisan, khususnya lapisan
bawah.
Bahkan ada sementara anggapan, kalau
bukan
stereotype, yang menyatakan
bahwa
jazz identik dengan gaya hidup lapisan menengah keatas. Musik
Jazz ada kecenderungan hanya difahami, dinikmati, dan
dikonsumsi oleh orang-orang yang tergolong “gedongan” seperti
kamu terpelajar, pengusaha, pejabat, dan selebriti. Sialnya
lagi ada sementara anggapan bahwa karena musik jazz mempunya
sofistikasi yang tinggi apabila maka ingin memahami orang harus
memiliki intelegensia yang lebih dari pada pendengar musik
lain. Argument inilah yang memperkuat dugaan mengapa jazz hanya dimiliki
lapisan menengah ke atas.
Penjelasan yang perlu dikejar lebih lanjut adalah : Apakah musik Jazz
itu?, Mengapa musik jazz yang lahir dari negeri asalanya lahir
dalam kultur politik perbudakan setelah masuk ke Indonesia
menjadi elit dan eksklusif? Betulkah sofistifikasi yang
dimiliki jazz menurut intelegensia yang lebih dalam memahami
bila dibanding dengan musik lain?
APAKAH MUSIK JAZZ ITU?
Musik Jazz lahir dari tangan-tangan kreatif orang-orang hitam yang
mengalami penindasan dan perbudakan di Amerika pada akhir abad
ke-18. Ekspreasi dari sebuah perlawanan terhadap sistem politik
yang rasis dan menindas terwujud dalam cara bermusik dan gaya
permainan orang-orang hitam Amerika. Sejarah telah mencatat
bahwa perbudakan dan diskriminasi rasial di Amerika justru
melahirkan musik-musik perlawanan seperti Spiritual, gospel dan
blues. Gejala ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah resistensi
budaya orang hitam terhadap Westernisasi, baik dari segi agama,
kultur politik hingga cara bermusik, karena sebelum dibawa ke
Amerika orang-orang hitam telah memiliki kebudayaan khas
Afrika.
Pada awalnya spirit musik atau ideologi dibalik jazz adalah
pembebasan diri orang Afro-Amerika dari belenggu struktur
sosial-politik represif yang dituangkan dalam ekspresi nada,
harmoni, dan gaya permainan bermusik. Sebagai contoh,
ragtime
yang menjadi titik awal perkembangan jazz klasik (
march,
waltz dan polka),
swing merupakan modifikasi dari
ragtime
, free jazz merupakan reinterpretasi dari bebop dan
world music merupakan dekonstruksi jazz
mainstream. Dalam
perkembangan lebih lanjut spirit jazz diinterpretasikan tidak
hanya sebatas perlawanan politis, tetapi menjadi gerakan
liberalisasi atau dekonstruksi bermusik dalam rangka mencari
ruang gerak, alternatif cara, dan gaya permainan lain.
Akibat dari spirit Jazz yang dialektis, liberal dan dekonstruktif itu
maka sebuah gaya permainan lama akan dinegasi oleh ide-ide
bermusik yang baru sehingga timbul gaya-gaya permainan baru.
Dalam hal ini Berend (1992) menggambarkan kronologi
perkembangan jazz dalam tiga periode waktu dimana masing-masing
periode melahirkan gaya-gaya permainan spesifik. Pertama,
periode jazz tradisional (1890-1940) melahirkan gaya-gaya permainan
Ragtime,
New Orleans, Dixieland, New
Orleans in Chicago, Kansas City, Chicago, Swing. Periode
jazz modern (1940-1980) memunculkan
New Orleans and
Dixieland Revival, Bebop, Cool, Hardbop, Free, Mainstream, Fusion.
Periode jazz postmodern (1980-saat ini) memproduksi gaya-gaya
Neobop, free Funk, Classicism, Neo-Classicism, No Wave dan World Music.
Puncak dari dekonstruksi dalam jazz terjadi pada tahun 1965-an yang
ditandai denagn hadirnya
free jazz. Gaya ini merupakan
tonggak perkembangan jazz postmodern dengan karakter utama
tonalitas bebas (
free tonality); disintegrasi pada
meter, beat dan simetri; masuknya musik etnis (
world music);
pemujaan terhadap intensitas; dan masuknya suara-suara alam
khususnya dari hutan belantara (
jungle sound). Pada dekade 80
dan 90,
free jazz menjadi pondasi dari perkembangan
fusion
dan
neo-Classicism, sedang
mainstream
dari jazz menjelma kedalam gaya permainan
Classicism. Oleh
karena itu jazz tidak lagi dapat didefinisikan semata-mata
sebagai gaya perminan
swing, bebop atau
mainstream,
tetapi sebagai sebuah kebudayaan bermusik yang lebih canggih
dan plural.
MUSIK JAZZ DI INDONESIA
Ketika sedang gencar-gencarnya musik jazz dipasarkan di tanah air,
nampak beberapa kendala telah merintangi sehingga musik ini
belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, namun justru
cenderung menjadi elit dan eksklusif. Padahal kalau bersandar
pada spirit yang dikandungnya jelas bahwa menjadi elit bukan
merupakan tujuan penciptaan musik jazz, sebab jazz selalu “berdimensi
pembebasan”. Kalau begitu barangkali ada mekanisme yang kurang
tepat dalam sosialisasi jazz di tanah air sehingga hasilnya
cenderung bias lapisan tertentu. Mempelajari jazz memang tidak
semata-mata memahami dan menikmati gaya-gaya permainan yang ada
tetapi alangkah bijaksana kalau juga memahmi dimensi historis
dan ideologis yang dikandungnya dalam rangka menghindari
bias-bias tertentu.
Ideologi jazz yang bersifat pembebasan, liberal, demokratis dan
dekonstruktif terhadap kebekuan gaya-gaya permainan sebelumnya
adalah merupakan sifat kritis yang perlu juga dipahami dan
diinternalisasi oleh penggemar Jazz kalau mereka ingin mengerti
apa itu Jazz. Tanpa sosialisasi dari sifat kritis musik Jazz
maka para penggemar Jazz justru dapat terjebak dalam cara
sosialisasi yang dikembangakan saat ini oleh “rezim industri
musik” sehingga jazz menjadi elit dan eksklusif. Rezim industri musik
cenderung menjual gaya-gaya permainan jazz yang mudah dipasarkan
tanpa pedulu apakah gaya-gaya permainan yang ditampilkan
merupakan gaya-gaya permainan sentral dalam perkembangan jazz
atau hanya pinggiran. Bahkan rezim ini cenderung
mengeksploitasi simbol modernitas, kehidupan kampus dan
eksklusifme dalam memasarka musik jazz. Sebagai contoh merebaknya
jazz jenis
fusion di tanah air diduga akibat dari cara
sosialisasi seperti itu.
Sedang argumen yang mengatakan bahwa jazz memiliki sofistikasi
sehingga memerlukan kapasitas intelegensia yang lebih tinggi
dari pada memahami musik non jazz adalah sebuah klaim yang
sewenang-wenang. Musik tidak semata-mata di pahami melalui
rasio tetapi juga dapat melalui rasa dan cenderung lebih
merupakan akibat dari kostruksi sosial sebuah komunitas. Mengapa dangdut
lebih memasyarakat dari pada jazz ? Jawabannya adalah bahwa
harmoni dangdut sudah di sosialisasikan sejak lama sehingga
embedded
dalam kultur kita, sementara musik jazz lebih merupakan bentuk
transplantasi kebudayaan musik dari dunia luar. Akibatnya jazz
menjadi asing bagi sebagian lapisan masyarakat bawah yang
tidak memiliki akses (baik kapital budaya, sosial maupun
ekonomi), tetapi tidak asing bagi lapisan menengah – atas yang
memilikinya.
Logikanya sederhana, kalau kita dilahirkan diperkampungan yang
didominasi musik dangdut maka harmoni yang kita miliki adalah
dangdut. Sedang harmoni diluar dangdut cenderung menjadi asing.
Kalau kita dilahirkan dan tinggal di New Orleans atau
setidak-tidaknya dilingkungan keluarga yang menggemari musik
jazz maka harmoni musik yang kita miliki cenderung harmoni jazz,
sehingga musik dangdut barangkali menjadi sesuatu yang asing bagi
kita. Jadi persoalannya bukan terletak pada sofistika yang
dimiliki musik jazz tetapi lebih pada “relativitas budaya”
dalam bermusik. Karena perkembangan musik jazz di tanah air
lebih merupakan bentuk transplantasi budaya maka muncul sebuah
fenomena yang memprihatinkan dalam sosialisasi jazz, yaitu
hearing
without understanding dan
playing without doing. (WJ)
Sumber : Down Beat, Jazz Book (J.E.Berendt)