“Saya mempunyai teman, dia sekolah pelayaran di Semarang. Setiap kali liburan, dia selalu kesini (Jogja) untuk menjadi anak jalanan. Saya salut dengan dia; saya acungkan jempol. Karena dia dulu memang berasal dari jalanan yang telah merasakan kerasnya menjadi anak jalanan.”
(Zamzuri, anak jalanan Jogja)
Begitulah salah satu petikan percakapan saya dengan sekelompok anak jalanan Jogja hampir dua tahun silam. Ya, itulah anak jalanan yang sering kita stigmatisasikan sebagai parasit, perusak keindahan kota bahkan (maaf) sampah masyarakat.
Jujur, begitu pulalah persepsi awal saya terhadap mereka sampai akhirnya persepsi itu mulai sedikit luntur ketika saya ngajak ngobrol sekelompok anak jalanan di perempatan MM UGM pas awal awal semester 1 dulu. Ga sengaja sih, pas saya lagi cuci mata duduk duduk di emperan bengkel, tiba tiba ada sekelompok anak jalanan yang nggerombol disamping tempat saya duduk. Ada kira kira 8 anak jalanan, satu dewasa yang namanya Zamzuri dan sisanya seumuran anak anak SMP. Ya udah deh, daripada bengong saya ajak aja mereka ngobrol. Dan dari obrolan obrolan itulah saya mengetahui beberapa hal baru dan menarik tentang mereka.
Mungkin udah banyak orang yang tahu, kalo anak jalanan itu ga semuanya awalnnya berasal dari kalangan yang ga mampu. Ada juga yang berasal dari keluarga yang berkecukupan, namun karena suatu hal, semisal masalah keluarga atau pergaulan, mereka memilih kabur dari rumah dan menjadi anak jalanan, baik itu jadi pengamen, pengasong, penjual koran, ataupun peminta sumbangan. Dan dari situlah mereka bertahan hidup. Fyi, menurut mas Zamzuri, mereka bisa dapat 40 ribu dalam sehari. Kalo ditung itung, dalam sebulan mereka bisa dapet sekitar 40 ribu x 30 = 1,2 juta. Suatu jumlah yang lumayan. Bahkan mas Zamzuri bilang “Sebulan dapet 1.5 juta itu mudah, kecil”.Entah bener atau nggak.
Namun sayangnya mereka menggunakan uang itu untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat konsumtif, bahkan beberapa menjurus ke tindakan tindakan kriminal. Misalnya aja mabuk, rokok, hape (bukan rahasia lagi kalo semua orang saat ini bisa punya hape) bayar cicilan motor, bayar utang atau bahkan buat ngebiayayain anak istri di kampung. Mungkin karena beberapa tindakan negatif itulah cap negatif dari masyarakat datang. Terlebih sebagian besar anak jalanan tidak mendapat porsi pendidikan yang layak. Ada yang putus sekolah; ada pula yang belum pernah mengecap bangku sekolah sama sekali.
Terlepas dari itu, para anak jalanan memiliki rasa solidaritas yang tinggi. biasanya hidup secara berkelompok. Makan bareng, tidur bareng, nyari duit bareng, mabuk bareng. Pokoknya semuanya dilakuin bareng bareng deh. Sudah ada juga sekelompok anak jalanan yang kreatif dengan merekam lagu lagu jalanan dalam satu album dan menjualnya 25 ribu per album. Salut deh.
Oiya, salah satu hal yang sedikit “miris” bagi saya adalah ternyata para anak jalanan sering terlibat konflik (baca: pukul pukulan) dengan para aparat. Ga tahu karena apa. Yang aneh, menurut mereka sebelum tahun 2003 para aparat masih bersikap “ramah” kepada para anak jalanan, namun pasca 2003 para aparat tidak lagi bersikap demikian. Dan mereka juga “titip pesen” untuk aparat, jangan menyamaratakan antara anak jalanan dengan para kriminil.
Dan akhirnya pada sore itu, bertambah satu lagilah teman dan pengalaman saya.